Suatu hari, usai maghrib waktu itu, seorang ibu dengan tiga
anaknya datang ke rumah. Agak kaget juga saya. Sebab sebelumnya saya punya
masalah dengannya. Ucapannya terhadap lembaga tempat saya mengajar cukup
menyakitkan.
“Maaf, bu... Mengganggu.” Begitu dia memulai percakapan.
“Ndak papa, ada apa ya bu?” tanya saya berusaha ramah.
Ternyata si ibu ingin saya mengajar dirinya dan anaknya
mengaji. Ketika saya ajak untuk ikut sekalian di TPA, dia menolak. Alasannya
anaknya tidak pernah bisa hadir tepat waktu di TPA. Lagi pula dia juga ingin agar
saya tak hanya bersedia mengajar anak-anaknya namun juga bersedia menyimak
bacaan si ibu.
Agak berat memang, mengingat waktu saya bersama dua krucil
saya bakalan semakin sempit. Akhirnya saya tawarkan teman yang lain yang
sekiranya memiliki waktu lebih luang untuk ibu beranak ini. Dengan halus dia
menolak. Katanya, maunya sama saya saja. Dan entah, saya pun mengiyakan. Namun dengan
syarat pertemuan itu hanya empat kali sepekan. Dia pun setuju.
Bayangkan, beberapa bulan yang lalu dia menjelekkan dan
mencurigai lembaga tempat saya mengajar. Kini dia datang meminta saya untuk
mengajar anak-anaknya. Ucapannya saja belum hilang dari ingatan. Ini orang, kok
ya tidak merasa bersalah. Akhirnya saya pun mulai mengajarnya walau masih
dengan rasa mangkel.
Saya pun berpikir, nggak mungkinlah saya menanam dosa terus
menerus. Sambil mengajar sambil menggerutu. Apalagi setelah beberapa kali
pertemuan kedua anaknya belum juga bergeser dari halaman yang ia pelajari.
Keduanya bahkan. Dan saya selalu merasa gagal jika murid saya tak juga mengerti
apa yang saya ajarkan. Serta biasanya saya akan mencari metode lain agar anak
ini bisa menangkap apa yang saya ajarkan.
Saya pun banyak-banyak istighfar. Menyadari, bahwa selama
ini sebetulnya penyebab anak ini tidak dapat menerima apa yang saya sampaikan
adalah perasaan mangkel saya.
Jujur, susah sekali ngilangin mangkel ini. Namun begitulah.
Alloh ingin saya membuang rasa mangkel ini. Saya pun memaksakan diri dengan
mengajak anak-anak tak berdosa ini bercakap-cakap dan bercanda sesekali. Alhamdulillah,
keakraban pun mulai terbangun.
Alhamdulillah, tiada yang berhak mendapat pujian selain
Allah. Sebab pada akhirnya Allohlah yang mampu membuat saya menundukkan mangkel di hati ini.