Sabtu, 28 Oktober 2017

Ketika Allah Inginkan Saya untuk Mengusir Rasa Mangkel

Suatu hari, usai maghrib waktu itu, seorang ibu dengan tiga anaknya datang ke rumah. Agak kaget juga saya. Sebab sebelumnya saya punya masalah dengannya. Ucapannya terhadap lembaga tempat saya mengajar cukup menyakitkan.

“Maaf, bu... Mengganggu.” Begitu dia memulai percakapan.

“Ndak papa, ada apa ya bu?” tanya saya berusaha ramah.

Ternyata si ibu ingin saya mengajar dirinya dan anaknya mengaji. Ketika saya ajak untuk ikut sekalian di TPA, dia menolak. Alasannya anaknya tidak pernah bisa hadir tepat waktu di TPA. Lagi pula dia juga ingin agar saya tak hanya bersedia mengajar anak-anaknya namun juga bersedia menyimak bacaan si ibu.

Agak berat memang, mengingat waktu saya bersama dua krucil saya bakalan semakin sempit. Akhirnya saya tawarkan teman yang lain yang sekiranya memiliki waktu lebih luang untuk ibu beranak ini. Dengan halus dia menolak. Katanya, maunya sama saya saja. Dan entah, saya pun mengiyakan. Namun dengan syarat pertemuan itu hanya empat kali sepekan. Dia pun setuju.

Bayangkan, beberapa bulan yang lalu dia menjelekkan dan mencurigai lembaga tempat saya mengajar. Kini dia datang meminta saya untuk mengajar anak-anaknya. Ucapannya saja belum hilang dari ingatan. Ini orang, kok ya tidak merasa bersalah. Akhirnya saya pun mulai mengajarnya walau masih dengan rasa mangkel.

Saya pun berpikir, nggak mungkinlah saya menanam dosa terus menerus. Sambil mengajar sambil menggerutu. Apalagi setelah beberapa kali pertemuan kedua anaknya belum juga bergeser dari halaman yang ia pelajari. Keduanya bahkan. Dan saya selalu merasa gagal jika murid saya tak juga mengerti apa yang saya ajarkan. Serta biasanya saya akan mencari metode lain agar anak ini bisa menangkap apa yang saya ajarkan.

Saya pun banyak-banyak istighfar. Menyadari, bahwa selama ini sebetulnya penyebab anak ini tidak dapat menerima apa yang saya sampaikan adalah perasaan mangkel saya.
Jujur, susah sekali ngilangin mangkel ini. Namun begitulah. Alloh ingin saya membuang rasa mangkel ini. Saya pun memaksakan diri dengan mengajak anak-anak tak berdosa ini bercakap-cakap dan bercanda sesekali. Alhamdulillah, keakraban pun mulai terbangun.


Alhamdulillah, tiada yang berhak mendapat pujian selain Allah. Sebab pada akhirnya Allohlah yang mampu membuat saya menundukkan mangkel di hati ini.

Kamis, 26 Oktober 2017

Menyikapi Penyakit yang Diderita


Sejak beberapa tahun belakangan, (sekitar 3 tahunan) saya menderita pembengkakan kelenjar di leher. Orang bilang struma. Pembengkakan kelenjar tiroid.

Bahaya? Bisa jadi bahaya. Sebab almarhumah ibu saya meninggal karena penyakit ini dan terakhir pemeriksaan dokter ternyata adalah tumor dan telah menjalar sampai ke paru-paru. Namun tentu semua sudah menjadi suratan takdir dan memang rejeki usia ibu tak sampai 43 tahun.

Ketika mendapati bahwa saya juga menderita penyakit ini, memang mengubah gaya hidup saya. Sakit ini, semoga lebih menjadi sebuah nikmat yang Allooh berikan pada saya. Karena dengan penyakit ini, saya merasa usia saya tentu tak akan lebih lama dari jumlah usia yang telah saya lalui. Justru dengan penyakit ini, mungkin Allooh ingin agar saya belajar menerima setiap ketentuan yang telah diberikan untuk saya. Allooh ingin, agar saya hanya bergantung kepadanya. Karena Allooh yang membuat sakit dan Allooh-lah kelak yang akan menyembuhkan. Dengan cara bagaimana? Itu terserah Allooh. Mungkin akan menutup penyakit ini dengan menghilangkan segala penderitaan di dunia, meninggal seumpama. Saya sudah pasrah.

Kadang, penyakit ini juga menjadi semacam rem saat saya bernafsu terhadap sesuatu juga sebagai penyemangat. Namun, begitulah... syetan tak akan pernah tinggal diam.

Saat kambuh, saya hanya berharap agar Alloh mengampuni dosa-dosa saya. Sebab katanya, pada setiap rasa sakit sesungguhnya Allooh tengah menggugurkan dosa-dosa kita. Agar kelak kita mendapat keringanan di hari pembalasan (Aamiin...)

Jadi, Kepada saudara-saudaraku yang tengah menderita sakit yang sewaktu-waktu bisa jadi akan merenggut kebahagiaan dunia. Semoga, penyakit itu adalah salah satu jalan Alloh memberi hidayah dan mengampuni dosa-dosa kita.

Tetap semangat dan tetap berprasangka baik kepada Allooh...

Ketika Sakit


Baru saja Allooh memberi cobaan sakit. Yang sakitnya mungkin saja sedikit dari sekian rasa sakit yang paling sakit. Saya sudah kebingungan, gak tahan dengan rasa sakitnya dan juga ingin segera beraktifitas seperti biasa.

Segala obat diiyain.Yang tadinya gak mau banget buat minum sari lidah buaya yang bau bawang putihnya sangat menyengat akhirnya diminum juga. Dibikinkan ramua jamu oleh anak-anak yang awalnya ragu untuk minum, bukan karena apa... karena gak yakin sama kehigienisannya (hehe) namun karena yakin, ketulusan mereka saat membuat dan yakin bahwan doa doa yang mereka panjatkan ketika membuat ramuan itu mungkin dan bisa jadi lebih didengar oleh Allah yang Maha Memberi Kesembuhan, akhirnya diminum juga.

Namu rasa sakit dan keterbatasan gerak tetap menguji kesabaran. Besoknya suami datang menawarkan terapi setrum yang selama ini sangat jarang saya lakukan. Suami saya tahu, kalo sampai saya mau menerima tawaran terapi setrum, itu artinya saya sudah gak tahan lagi dengan rasa sakitnya. Akhirnya terapi setrum dilakukan, sebelumnya sudah coba terapi totok punggung. Namun belum juga ada perubahan.

Setelah diterapi setrum, saya minta dibekam. Maka dibekamlah. Biasanya saya minta gelas bekam yang berdiameter kecil saja, kali ini saya tak menolak ketika suami mengeluarkan dengan gelas bekam yang diameternya sebesar cangkir minum. (okeylah agak kecil dikit)

Sekarang, Alloh telah memberi keringanan dari rasa sakit. Juga mengusir sedikit rasa khawatir... Hmm baru sadar. Bukankah Alloh akan mengguggurkan dosa pada setiap rasa sakit yang diderita oleh hambaNya?



Astaghfirullah wa atuubuh ilaih


Minggu, 22 Oktober 2017

Ketika dalam Ujian

Belum lama sembuh dari DB, kini sulung saya sakit lagi. Hasil tes darah menunjukkan kalo sel darah putihnya berlebihan sedang sel darah merah kurang.
Keluhannya sebentar demam sebentar normal. Suhu badannya naik turun. Setiap kali makan atau minum, setiap kali itu pula muntah.
Gak bisa tidur. "Kakak, khawatir mik..." keluhnya. "Khawatir kalau harus bermalam lagi di rumah sakit. Sangat nggak enak."

Sejak kecil, sepertinya sulung saya ini anak yang paling sering sakit. Pernah menderita ISPA, sering mimisan, alergi...

Keresahan saya, tadi malam saya limpahkan semua pada suami. Dan saya bermaksud membawanya kembali untuk tinggal bersama-sama lagi.
"Sudah, biar saja gak usah sekolah jauh-jauh dulu. Biarkan dia pulang, sampai benar-benar sehat. Kalau Allah ijinkan dia sampai ke Madinah, sekolah di mana pun ia akan sampai ke Madinah."

Tiba-tiba, jawaban balik suami ini bikin saya tak berkutik. Menyesal telah banyak berkata-kata seolah tak percaya bahwa Alloh yang mengurus semua.
"Coba ummi ingat, kakak itu lebih banyak sakitnya atau lebih banyak sehatnya? Memang dia sering sakit, tapi bukankah dia lebih sering sehat?"
Saya terdiam.
"Masalahnya, karena kakak sakit dan jauh dari kita. Tapi, bukankan ini yang seharusnya membuat kita lebih mendekatkan diri pada yang memberi sakit dan yang memberi sehat?"

Sambil diterapi suami malam itu, karena saya sendiri sedang terganggu kesehatan, saya beristighfar banyak banyak. Mungkin, sakit ini adalah salah satu peringatan dari Allah akibat kurang bersyukurnya saya.
Sungguh, bersyukur ketika dalam kelapangan itu mungkin lebih mudah dari pada bersyukur ketika dalam kesempitan.
Astaghfirullooh wa atuubuh ilaih

Rabu, 31 Agustus 2016

Cinta Lama

Dia mengeluarkan motor dari rumahnya. Pintu dibiarkan terbuka. Dia menyalakan motor untuk memanaskan mesin. Nampak anak sekolah berlewatan di depan rumahnya.
Pikirannya masih gundah setelah menemukan sebuah nama di grup WA alumni sekolahnya. Nama yang memaksa dirinya untuk bertempur. Tapi bukan melawan musuh. Dan bukan pertempuran bersenjata. Tapi bertempur melawan rasa yang ada di dada. Rasa yang bangkit kembali setelah 20 tahun mati. Rupanya rasa itu tak mati. Hanya bersembunyi di sela-sela putaran roda kehidupan.
Hatinya sibuk menghadang rasa itu. Tapi dia tak mampu. Pertempuran berjalan seimbang.
Istrinya keluar bersama dua anaknya yang siap berangkat sekolah. Satu bercelana panjang merah, satu lagi bercelana panjang biru.
Suara anaknya menyadarkan lamunannya. Keduanya naik ke jok belakang motor. Istrinya yang cantik dan semampai, anggun dengan jilbab lebarnya, melepas di depan pintu.
Dia memasukkan motornya ke rumah. Kedua anaknya yang berusia 3 dan 4 tahun sudah rapi dan wangi, bermain di teras rumah. Masuk ke rumah, dia mencium aroma sarapan yang membuat perut lapar.
Cantik, solehah, dan pandai masak. Kombinasi idaman bagi lelaki yang mencari istri.
Dia segera menuju meja makan. Ditemani oleh istrinya tanpa jilbab lebarnya.
Duduk di meja makan sambil tersenyum.
Istrinya cantik, solehah dan pandai masak. Pandai mengatur rumah.
Tapi mengapa rasa yang telah terkubur tetap memaksa bangkit?
Ataukah memang ini fitrah lelaki yang bisa menampung lebih dari satu cinta dalam hatinya?
Apa yang harus dilakukan ketika menghadapi kondisi seperti ini?
-------------------
Rasa itu masih menggoda hatinya. Mengetuk pintu rumah hatinya yang sudah berpenghuni.
Tapi dia ingat, bahwa rumah hatinya tidak hanya bisa dihuni sendirian. Masih bisa dihuni oleh cinta yang lain. Hatinya bukan kamar apartemen studio yang hanya bisa dihuni oleh 1 penghuni.
Dia tersenyum lebar. Kegundahan hatinya akan segera hilang. Sebagaimana malam hilang saat matahari terbit. Seperti banjir bandang yang surut.
Bagaimana tidak hilang gundahnya, dan berganti dengan rasa gembira yang luar biasa. Karena rumah hatinya akan memiliki penghuni baru.
Dia membayangkan indahnya hidup bersama dua bidadari dunia, yang akan membuat hidupnya lebih berwarna. Hidup menjadi indah dengan satu bidadari. Apalagi ditambah satu lagi.
Tapi kegembiraan itu tak berumur panjang. Dia mengerutkan dahinya kembali. Duduk terkulai lemas di kursi. Dan gundahnya datang kembali.
Karena ternyata si dia sudah bersuami.
-------------------------------
Saat itulah setan datang menggoda. Agar dia tetap mengejar cintanya meski si dia sudah bersuami.
Setan tahu bahwa si dia punya WA juga. Maka setan menggodanya untuk tetap merebutnya dengan berbagai cara.
Si dia juga punya WA, punya FB, berarti kesempatan untuk merebut masih ada. Begitu setan menggodanya.
Setan tak hanya memotivasi agar tetap mengejar. Seolah hanya dia saja perempuan di jagad ini. Padahal dia sudah punya bidadari. Tapi memang dasar setan, memang tugasnya menggoda dan mengganggu. Tugasnya mengajak agar manusia terjerumus kepada maksiat.
Lihat FB nya, pertama kasih like dulu di statusnya. Lalu perhatikan statusnya, pasti ada yang mengandung curhat. Kalo sudah curhat, tandanya kamu bisa masuk. Begitu kata setan.
Kasih perhatian lebih, siapa tahu dia kurang perhatian. Batu yang keras akan kalah oleh tetesan air yang terus menerus. Teruslah dan jangan menyerah. Dia layak untuk dikejar, demi cinta yang memburu di dada. Agar gundahmu segera hilang, diganti dengan bahagia dengan dua bidadari. Setan terus membisikkan gangguannya.
Tapi setan menggoda orang yang salah. Dia tidak segera mengikuti godaan setan. Dia masih bisa berpikir. Allah masih menjaganya.
Dia teringat dosa, dia tidak mau menambah gundahnya. Karena dosa juga membuat gundah. Bisa dua kali lipat gundahnya.
Dia teringat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang melarang takhbib, yaitu merusak hubungan rumah tangga orang, mempengaruhi istri agar cerai dari suami.
Dia tidak mau menambah dosa.
Tak mengapa dia menanggung gundah daripada menanggung dosa takhbib.
Kasihan si suami merana jika istrinya minta cerai gara-gara dia. Kasihan rumah tangganya. Kasihan anak-anaknya.
Dan yang pasti, Allah nanti akan murka. Jika Allah murka bisa jadi nanti semuanya bubar.
Biarlah gundah ini dia rasakan sendiri. Dia lawan sendiri. Lebih baik bergulat dengan gundah, daripada bergelimang dosa.
Tapi sampai kapan harus bergulat melawan gundah?
Berapa lama lagi ..?

Secuil kisah di siang hari pada 30 Agustus 2016

Siang itu, saatnya anak-anak mengambil wudhu untuk sholat dhuhur. Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Berharap anak-anak berteduh di area tempat wudhu mesjid hingga hujan reda. 
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja mereka berlarian dibawah hujan deras. Suara teriakan saya meminta mereka berteduh tak terdengar, tak mampu bersaing dengan gemuruh suara hujan. Dan anak-anak dengan bebas sebebas-bebasnya berlari melompat menghadang hujan. Dan, seketika mereka pun basah kuyub sambil tertawa bebas.

Saya langsung lunglai, gak mungkin anak-anak sholat dhuhur dengan baju basah kuyub sedemikian. Malah bikin kotor masjid, itu pasti.
Geram, tapi apa mau dikata. Naluri anak-anak melihat hujan ya langsung main hujan. Yang kami khawatirkan bias jadi diantara mereka tidak tahan dingin yang malah membuat mereka masuk angin. Akhirnya, saya kirim pesan pada orang tua murid satu per satu agar segera menjemput putra putrinya. 


Dengan sabar saya menunggu satu per satu murid dijemput sambil memohon maaf pada orang tua atas kejadian yang tak sanggup saya cegah hari itu. Alhamdulillah, semua orang tua memaklumi keadaan ini.


Dua krucil saya terlihat keluar dari mesjid, Alhamdulillah mereka tidak main hujan seperti yang lain. Setelah seluruh murid pulang, saya pun beranjak pulang. Saat melalui parit kecil yang memisahkan antara sekolah dan kebun, kepala saya langsung cenut-cenut. Dua krucil saya memang tak sedang bermain hujan sebab hujan pun telah reda, mereka berdua sedang berendam di parit penuh lumpur itu.


Sudah tak ada tenaga saya lagi untuk ngomel. Saya hanya member isyarat agar mereka segera naik, lalu memandikannya. Masih dengan diam saya menyiapkan tempat tidur mereka, tanpa disuruh pun kedua krucil seperti mengerti apa yang saya inginkan. Tidur.


Terimakasih telah membaca cerita saya
salam senyum

Selasa, 30 Agustus 2016

Kita Semua Pernah Melakukan Kesalahan

Tadi, anak-anak saya di sekolah saling tuduh siapa yang salah dan siapa yang benar. Ya, tentu mereka masing-masing menganggap dirinya benar, dan temannya salah.

Lalu saya nanya: "Siapa yang tidak pernah berbuat salah."

Rata-rata mereka semua ngaku dan berebut; "Saya tak pernah berbuat salah!!!."
Lalu saya cerita, Nabi Adam pernah berbuat salah sehingga dikeluarkan dari surga. Nabi Yunus pernah berbuat salah hingga diberi cobaan masuk dalam perut ikan. Nabi Muhammad yang mulia juga pernah melakukan kesalahan sehingga ditegur oleh Alloh melalui surat Abasa.

"Jadi, setiap manusia pernah berbuat salah." kata saya. "Lalu, siapa tadi yang ngaku tidak pernah berbuat salah?" tanya saya lagi.

"Saya, Mi. Saya ga pernah." beberapa dari mereka masih ndak mau ngaku.

Lalu saya memberi isyarat heran. "Jadi, kamu tidak pernah berbuat salah?"

"Tidak, Mi!!!" 
"Aku endak...aku endak...!!!!"

"Jadi, kamu bukan manusia?" tanya saya dengan ekspresi seheran-herannya.

"Eh... enggak Mi. Aku pernah salah sekali saja. Dia nih yang banyak!!" kata salah satu dari mereka sambil menunjuk teman di sebelahnya.

"Bener?!!!" saya coba meyakinkan.

Tiba-tiba ada yang angkat suara, "Iya Mi. Aku sering dimarahin sama mama."

Saya tersenyum pada pemilik suara itu. "Kenapa dimarahin sama Mama?" tanya saya.

"Aku bikin nangis adikku." jawabnya

"jadi, siapa yang berbuat salah?" tanya saya lagi.

"Ya, akulah..." katanya jujur.

"Siapa lagi yang tidak pernah berbuat salah?" tanya saya lagi sambil memperhatikan kesebelas murid saya.

Mereka saling memandang temannya dan saling tersenyum. Kali ini tak terdengar lagi yang mengaku tidak pernah salah.
Kadang, kita harus berepot-repot untuk membuat anak-anak mengerti dan sedikit demi sedikit melepas penyakit merasa benar.
Begitu kisah saya hari ini, Selasa 30 Agustus 2016

Translate